Kamis, 28 Oktober 2010

“Sajak hati untuk kekasih"

Ketika Hati Merindu Surga

Tubuhku berdiri di atas pasir pantai
Pantai penantian yang kurasa semakin panjang
Kini hati bergulat penuh khawatir
Kalau-kalau ombak lautan hidup menyambarku
Lalu kubisikkan pesan kepada Sang Kuasa,
“Tuhan, aku merindu surga.”
Seketika ku dengar pesan cinta-Nya
Pada lembaran-lembaran kitabku
Ku pandangi penuh syahdu dengan jiwa bergetar hebat
“WaliRobbika fashbir.”
-Dan untuk Tuhanmu, maka bersabarlah.-
Sekerling mata, aku bergidik
Bingung tapi terharu
Ketika hati merindu surga
Jawaban sabar itu menjelma nyata
Bersandar sebuah kapal di pelabuhan tepi pantaiku
Siapakah gerangan?
Seorang raja tampan turun dengan gagahnya
Dari atas kapal bermuatan kargo sederhana
Ia mengajakku untuk ikut bersamanya
Menjadi seorang permaisuri di kerajaan cintanya
Mungkinkah ini?
Padahal mata telah lelah menangis
Menepis silau dunia fana dalam iklim kesendirian
Ketika hati merindu surga
Berlayarlah kapal bernahkoda cinta
Dengan berbekal niat menyempurna agama
Kita tembus samudera dunia
Dengan berharap keridhoan-Nya
Kita arungi gelombang samudera
Dengan rasa syukur bahagia
Kita torehkan jejak seorang hamba
Dengan membawa mimpi dan cita
Semoga berlabuh hingga ke surga

Senin, 12 Juli 2010

DUA WAJAH DUA VERSI

DUA WAJAH DUA VERSI

Cerpen Qyhana Ray-FLP Bogor.
Bismillah, ku atur nafas perlahan, tak lupa ku baca doa melancarkan lisan berharap agar tiga puluh dua pasang mata yang kini tengah menatapku mengerti dan tertarik dengan sesuatu yang sedang ku tawarkan.
“Demikian presentasi dari saya. Selanjutnya, terkait persoalan marketing akan dijelaskan oleh rekan saya, Bapak Tirta.”
Tepuk tangan bersahut-sahutan mengakhiri presentasi kami di depan orang-orang yang tak lain adalah para calon investor Perusahaan Tirta Yoga Abadi, sebuah perusahaan kecil yang baru saja kami rintis.
Aku duduk masih dengan jantung berdegup kencang. Entahlah ruangan ini ber-AC tapi perasaan grogi telah membuat keringat dinginku mengucur. Namun perlahan saat ku tatap satu per satu wajah-wajah di depanku, tampaklah sunggingan-sunggingan senyum dan anggukan-anggukan kepala. Ah leganya. Setidaknya pemandangan tersebut membuat nafasku mulai teratur.
“Alhamdulillah, selesai juga hari ini. Capeknya.” Ucapku merebahkan diri di atas kasur masih lengkap berserta stelan kemeja dan jas yang baru ku beli kemarin. Kami berdua tinggal di sebuah apartemen.
“Walaupun ini sangat melelahkan, tapi menyenangkan bukan?” Sahut Tirta sembari membuka laptopnya di depan meja. Tampaknya kalimat ‘selesai juga hari ini’ tak berlaku bagi Tirta.
“Ayolah kawan, malam ini kita istirahat dulu. Besok pagi kita mulai bergerak lagi.” Ucapku bangkit dan menyambar latop miliknya.
Ia menatapku sejurus kemudian berkata dengan nada super serius, “Semenjak dulu aku selalu bermimpi bisa memberi manfaat untuk orang banyak melalui jerih payahku sendiri. Tapi ayahku tidak pernah percaya itu.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Ayah selalu berkata bahwa aku tak perlu bersusah payah dalam hidup karena ia telah memiliki segalanya. Sungguh, aku tak suka diperlakukan seperti raja yang terus-menerus dilayani. Kau tahu kenapa?” Tanyanya sambil menarik laptopnya kembali dari tanganku.
Aku menggeleng.
“Karena Alloh telah menganugrahkan banyak nikmat bagiku dan aku harus bersyukur pada-Nya dengan cara mengoptimalkan semua potensi yang ku miliki.” Jelasnya.
Aku heran, malam-malam begini ia masih terlihat segar seperti ada embun pagi di wajahnya. Padahal kemarin semalam suntuk kami bagadang dan dari pagi sampai malam begini baru pulang. Beda sekali denganku, mukaku sudah kucel, badan pegel-pegel dan mata ngedumel minta diistirahatin. Ah, mungkin perbedaan gizi di waktu kecil membuat ketahanan fisik kami sangat berbeda. Begitulah hiburku setiap kali melihat Tirta yang rasa-rasanya tak pernah lelah bekerja. Jika aku jadi dia mungkin aku sudah duduk enak-enakan di atas kursi empuk atau jalan-jalan keliling dunia. Betapa tidak, Tirta adalah putera tunggal Bapak Yudha Husada, salah seorang enterpreneur sukses di Indonesia, bahkan nama ayahnya berada pada jajaran atas milyarder di Asia Tenggara. Sedangkan aku, aku hanya anak nelayan kecil. Hidup di pinggir pantai dan besar karena makan ikan asin dan sambal terasi.
Banyak orang yang melihat keakraban kami mengira bahwa aku dan dia sudah bersahabat semenjak lama. Padahal tidak. Aku baru mengenalnya tujuh bulan yang lalu di acara Seminar Wirausaha Muda Nasional. Waktu itu kami sempat mengobrol dan langsung merasa cocok untuk bekerja sama. Alasan utamanya adalah karena kami punya cita-cita yang sama, yaitu ingin mendirikan perusahaan Agroindustri kelapa. Alasan sampingannya adalah karena ia terlihat cerdas di mataku dan ia mengatakan hal yang sama pula kepadaku. Baru tiga bulan kemudian aku tahu ternyata ia anak ‘Wong Gede’. Tirta Yudha Husada, begitu nama lengkapnya. Namun ia tak suka orang memberikan perlakuan istimewa kepadanya hanya karena embel-embel nama beken sang ayah. Oleh karena itu, ia biasa mengenalkan dirinya sebagai Tirta Abadi.
Bagiku, ia sosok luar biasa. Tampan, tajir, low profil, cerdas, mantan anak rohis pula. Bener-bener bikin aku merasa diriku serba ‘terlalu biasa’. Walaupun ayahnya kaya tapi tak sedikitpun ia memanfaatkan kekayaan itu untuk bersenang-senang, bahkan ia berjanji kepada ayahnya akan sukses dengan bisnisnya bersamaku yang kami mulai dari nol ini.
Kini aku hanya memperhatikan Tirta yang tengah sibuk cetat-cetut di depan laptopnya. Melihatnya seperti itu aku jadi tak tega untuk tertidur pulas. Tapi aku juga sudah tak sanggup berpikir. Maka aku hanya diam duduk di depannya, kadang pura-pura berpikir, tertunduk dan terus menguap. Yakin deh warna bola mataku sudah tak jelas antara merah atau kuning seperti mata ikan asin yang ku makan waktu kecil dulu dan lebih yakin lagi kalau matanya Tirta pasti masih berbinar, segar seperti mata ikan Salmon yang mungkin sering dimakannya waktu kecil dulu. Aku mulai melamunkan ikan Salmon berenang-renang di lautan, sesekali ikan itu mengedipkan matanya kepadaku.
“Yoga, bagaimana menurutmu kalau kita bekerjasama dengan lembaga penelitian?” Tanya Tirta dan barang tentu aku yang tengah asyik dengan ikan Salmon di lautan tak mendengarnya.“Yoga… YOGA!!!” Teriaknya, lamunanku buyar.
“Tidakkah kau membantuku berpikir? Kalau kau begini terus, mau dibawa kemana perusahaan kita? Ingat tadi sepanjang hari kita telah berhasil membuat banyak orang menginvestasikan uangnya untuk bisnis kita. Ini amanah. Besok masih banyak yang harus kita kerjakan.” Katanya membuatku sedikit takut dan lagi-lagi aku merasa perbedaan gizi di masa kecil membuatku tak sewibawa dirinya. Aku terpaksa meninggalkan lamunan dan analisisku tentang hubungan antara warna bola mata kami dengan ikan-ikan yang kami makan di masa lalu.
“Iya.” Jawabku bersungut-sungut.
Ia menatapku iba kemudian bangkit berdiri dan kembali dengan secangkir kopi hangat di tangannya, “Maafkan aku kawan, maaf jika nada bicaraku agak sedikit meninggi. Mungkin aku terlalu bersemangat menjalankan bisnis ini. Minumlah.” Ia meletakkan kopi itu di atas meja dan menepuk pundakku sambil tersenyum. Aku merasa tak enak hati dan tersetrum sedikit semangatnya, “Ah, tidak apa. Ini baru jam sepuluh. Biasanya juga kalau piala dunia aku kuat melek sampai pagi, haha…” ucapku langsung menyambar segelas kopi itu.
Teng… Teng…Teng. Bel jam dinding berbunyi pertanda hari telah berganti. “Hah, sudah merdeka…!!!” Ucapku bersemangat karena kini telah berganti tanggal dari 16 menjadi 17 Agustus.
“Ya, kau sudah merdeka. Sekarang boleh tidur. Besok pagi-pagi kita masuk lab untuk uji coba produk.”
“Hah, besok ke lab? Sayang sekali, padahal aku menghayalkan ikut lomba panjat pinang.” Gerutuku.
“Astaghfirulloh.” Tirta menepuk jidatnya seolah ada nyamuk raksasa tengah bertengger di jidat itu. “Besok, 17-an ya? Aku sampai lupa.” Lanjutnya dengan ekspresi yang sungguh tak ku duga.“Kalau begitu, kita nggak jadi masuk lab, kita ke lapangan Parasamya aja.”
“Hah??!! Serius…?” Tanyanku tak percaya. “SERIUS.” Jawabnya. “Yess. Panjat pinang, I’m Coming.”
Pagi-pagi kami menuju lapangan Parasamya berboncengan naik sepeda motor. “Kita singgah ke percetakan Matahari dulu.” Ucapnya. “Untuk apa?”, “Mengambil leaflet dan pamphlet. Tadi malam aku email ke sini dan mereka bilang pagi sudah jadi. Di Parasamya pasti banyak orang. Kita bisa promosi bisnis, promosi produk, tawaran kerjasama dan bisa O-R karyawan juga.” Jawabnya. Aku menelan ludah, padahal bayang-bayang panjat pinang sejak malam masih melekat di kepalaku. “Tenang saja, jika sudah selesai kamu bisa panjat pinang.” Ujarnya seolah bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum senang. “Baiklah kalau begitu, Lets Go!!!”
Kami tiba di lapangan Parasamya, tempat yang biasanya paling membludak kalau lagi 17-an gini. Serba-serbi lomba diadakan, orang-orang berseliweran. Mataku melirik pohon pinang yang tengah ditancap di tanah, aku rindu bau minyak oli hitam yang melekat padanya. Aku melakukan tugas dengan semangat. Usai istirahat makan dan sholat dzuhur kami kembali melakukan misi kami. Tak terasa sebar-sebar pamphlet dan leaflet telah selesai. Mataku mulai celingak-celinguk mencari Tirta. Ah, sudahlah tempat ini terlalu luas untuk menemukannya. Aku begegas menuju areal panjat pinang. Tak sabar rasanya.
Di tengah asyiknya pertandingan hujan turun, awalnya hanya rintik-rintik namun kini semakin deras. Badanku yang sudah hitam dan licin terguyur hujan. Ah, ini menyenangkan sekali.
Aku baru tiba di apartemen menjelang magrib. Tirta sudah duduk rapi dengan kopeah dan qur’an di tangannya. Ia tersenyum melihat baju merah putih yang ku kenakan. “Darimana kau dapat baju itu?” Ledeknya. “Hehe… Hadiah panjat pinang Bro…” Jawabku bangga.
Malam telah datang dan siang telah berlalu. Aku dan Tirta duduk di sofa menikmati pemandangan dari atas balkon. Hari ini kami tidak berencana lembur bekerja Namun sungguh tak direncanakan kami malah tak tidur semalaman hanya karena sebuah pertanyaan, “Apa arti kemerdekaan buat kamu sewaktu kecil dulu?”
“Bagi si miskin seperti aku, jujur semenjak kecil arti merdeka bagiku hanya ‘kesempatan mendapat banyak hadiah’. Aku selalu membuat list kebutuhanku seperti buku, tas, sepatu dan mendatangi panitia lomba untuk bertanya, ‘lomba yang ini hadiahnya apa?’ lalu aku akan ikuti lomba yang lebih dulu hadiahnya ku inginkan. Hadiah memotivasiku luar biasa sehingga selalu jadi jawara 17-an. Maklumlah. Aku miskin, hadiah itu sangat aku dan adik-adikku butuhkan dan lomba panjat pinanglah yang paling aku senangi, karena hadianya sudah terpampang dengan jelas. Makanya aku senang panjat pinang. Aku rajanya.“ Jelasku panjang lebar. “Oya, kau tahu, sejak usia sepuluh tahun hingga kini aku belum pernah absen panjat pinang.”
Tirta manggut-manggut kemudian angkat bicara, “Bagiku merdeka adalah bisa mandi hujan.” Ungkapnya singkat. “Hah?!” tanyaku heran. “Ya, dari kecil aku diperlakukan seperti raja. Pergaulan dibatasi dan dikelilingi banyak baby sitter. Padahal aku bukan baby lagi. Dan mereka tak pernah mengizinkanku mandi hujan, padahal aku sangat ingin. Untungnya, ayahku cukup nasionalis jadi ia memberiku SIMH alias Surat Izin Mandi Hujan di hari kemerdekaan.Ya, dulu, setiap melihat anak-anak di film sejenis bocah petualang di TV, aku selalu iri.”.
“Dan akulah si bocah petualang itu.” Selaku.
“Kau beruntung.” celetuknya membuatku tak percaya. “Aku selalu ingin menjadi seperti kalian, bebas bermain.”
Aku tertawa geli, ntah kenapa aku gampang ketawa seusai panjat pinang hari ini, mungkin terlalu gembira. “Aneh, kau tahu si bocah petualang itu ingin menjadi pangeran seperti dirimu. Hidup serba berkecukupan, tidak kelaparan, tidak kedinginan, ah aku rasa itu sangat nyaman.”
Tirta pun kemudian ikut tertawa, “Intinya manusia tak bersyukur ya… Ibaratnya yang gemuk pingin kurus, yang kurus pingin gemuk.”.
“Iya ya. Eits, tunggu dulu. Memangnya setiap 17-an itu hujan ya?” Tanyaku bego.
“Hari merdeka yang paling berkesan bagiku itu hanya lima kali. Pertama saat umur 9 tahun, 15 tahun, 17 tahun, 21 tahun dan sekarang. Karena kelimanya hujan.”
“Hh,,, kebayang senengnya kayak apa. Sampe hafal gitu umur berapa aja.” Ejekku.
“Tunggu dulu tak hanya sekedar mandi hujan, aku bertualang menelusuri jalan-jalan yang belum pernah ku lewati sebelumnya, sampai aku menemukan sesuatu yang ku sukai. Kau tahu apa itu?”
“Wanita.” Jawabku ngasal.
“Ah, bukan. Payung. Anak-anak kecil membawa payung. Mereka berbaris di pinggir jalan dan kemudian aku tahu kalau mereka ternyata menawarkan jasa ojeg payung. Lalu aku membeli payung dan melakukannya pula. Kau tahu,, payungku selalu laris karena aku bilang ‘Gratis’. Haha… Agar para ojegers yang lainnya tidak sedih, aku bagi-bagi rizki ke mereka. Aku akan memberitahumu sebuah rahasia.”
“Apa itu?” Tanyaku sangat tertarik.
“Semenjak itu, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan terus melakukannya jika di hari kemerdekaan turun hujan.”
Aku melonjak, “Hah?! Berarti tadi juga?”
“He-eh” Tirta mengangguk.
Dengan seribu penyesalan aku berkeluh kesah ”Ah sayang sekali. Kalau aku ngelihat pasti seru sekali. Ah bro, aku ingin lihat. Seorang Tirta Yudha Husada ngojeg payung, haha…”
“Karena kau sangat penasaran, kau bisa melihatnya sekarang.” Ucap Tirta, masuk ke dalam kemudian kembali ke balkon bersama sebuah payung berukuran besar. Saat payung itu terbuka telihat coretan spidol hitam bertuliskan ‘Jasa Payung Gratis Khusus Anak Kecil dan Lansia’. Kemudian ia berdemo di depanku, “Ayo Nek, saya payungi, ayo Kek Gratis, Adik mau kakak payungi?” Aku tertawa geli, kali ini sampai agak cekikikan.
“Tertawalah, tapi kalau tidak aku buat seperti ini, apa jadinya aku? Gadis-gadis yang membawa payungpun pasti akan membuang payungnya.”
“Hahaha… kau lucu sekali.” Aku memegangi perutku membayangkan gadis-gadis itu pasti ingin menjadi tua hanya untuk sejenak. “Lalu kalau tidak hujan, apa yang akan kau lakukan?” Tanyaku berhenti tertawa.
“Mandi hujan juga. Tapi di shower.”
“Hahaha…”
“Kenapa ojeg payung tidak kita jadikan bisnis saja?” Candaku.
“Tidak kawan! itu spesial di hari merdeka saja.”
Malam semakin larut, kami tetap asyik bertukar cerita tentang dua wajah kisah unik hari kemerdekaan dari dua versi yang berbeda, si kaya dan si miskin. Mungkin hanya malam ini. Esok, ketika pucuk mentari menyapa, aktivitas pun seperti sedia kala dan dua wajah dari dua versi itu akan menjadi satu kembali, pekerja keras.

PEJUANG PEMBEBAS (Fiksi Belaka)

Kata orang, ada banyak warna-warni cinta seperti layaknya pelangi. Cinta tak hanya sekedar hitam dan putih. Namun bagiku, cinta hanya memiliki satu warna. Kelabu! Ya, kelabu bagaikan warna langit ketika mendung. Seperti itulah warna cinta bagiku.
Aku bukanlah seorang wanita yang sudah berkali-kali patah hati, bukan pula seorang wanita yang selalu berhasil dalam percintaannya. Bukan! Sama sekali bukan karena aku adalah himpunan bagian dari mereka yang minoritas di dunia ini. Kaum lesbi. Setidaknya aku merasa hampir menyerupai kaum itu. Sungguh, aku tak pernah meminta kepada Tuhan agar aku termasuk ke dalam kategori yang minoritas itu. Namun setelah mengalami perjuangan yang panjang, aku memiliki kesadaran penuh bahwa segala apa yang terjadi dalam hidupku adalah ujian dari Tuhanku.
Namaku Juwita. Sedari kecil aku hidup di bawah baying-bayang kekerasan, memiliki ayah yang tak berperasaan membuatku putus harapan untuk kuat menghadapi terpaan demi terpaan, hanya keyakinan kepada Tuhan yang terus memberiku kekuatan. Aku selalu menemui hal yang membuatku sangat membenci kaum lelaki. Aku membenci mereka seperti aku membenci ayahku. Sungguh tragis, lelaki itu tega membakar isterinya hidup-hidup hanya karena isterinya membangunkannya sholat shubuh. Aku si kecil malang itupun nyaris terbakar saat itu. Bahagia sekali rasanya setelah pengadilan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada lelaki yang tak penah ku panggil “ayah” lagi semenjak kejadian berapi itu.
“JUWITA!!!” teriak ayahku. Aku berlari mengayunkan kaki kecilku menuju kamar, sekelebat pintu itu terkunci dan aku bersandar padanya.
Dug…DugDug…. Pintu itu digedor dengan sangat keras seakan-akan engselnya hendak copot dari tempatnya. Tubuhku bergetar, mata ini keluh sudah mengeluarkan air mata yang membanjiri wajah dan bibirku yang membiru karena ketakutan.
Dugdugdug. “Juwita, BUKA!” Teriaknya lagi. Setiap pintu digedor dengan keras, setiap itu pula tubuhku berguncang, setiap ayah berteriak setiap itu pula aku bergetar ketakutan. Jika pintu terbuka, habislah aku kena hantam karena telah berani-berani mengganggunya berjudi di warung Pak Urip.
Setelah lama, pintu tak jua jebol apalagi terbuka. Ayah pergi setelah sebelumnya menendang pintu dengan sangat marah. Kemuadian beranjak ke dapur mencari sasaran selanjutnya. Ibuku. Wanita itu, ah pilu hatiku ketika mengenang beliau. Ingin rasanya membuka pintu dan berlari membela ibu. Namun aku yang saat itu masih berusia 7 tahun sungguh tak bernyali untuk itu. Tetap dengan teriakan ia memanggil ibu, namun tampaknya ibu sedang keluar. Ibu, jangan pulang! Teriak bathinku.
Tak jarang di lain waktu, hanya karena teh ayah memaki ibu, menuduh ibu ingin membunuhnya karena memberi gula yang kebanyakan. Menyiramkan air panas ke kakiku hanya karena hal-hal sepele. Siksaan demi siksaan ayah akhirnya berhenti di jeruji besi polisi.
Selanjutnya, aku tinggal bersama nenekku yang penuh kasih sayang. Namun hanya 2 tahun aku merasakan kasih saying itu karena nenek meninggal dunia. Hanya nenek keluargaku di sini. Keluarga ayah tak jelas ntah dimana dan ibu hanya punya nenek seperti aku yang hanya punya ibu, kami sama-sama anak semata wayang. Aku sendiri, kebingungan terluntang-lantung di jalan hingga seorang preman membawaku secara paksa ke dalam mobil. Ia mengirimku ke Bang Banu, sebutan untuk lelaki yang sebenarnya sudah tidak abang-abang lagi. Ia lebih pantas disebut ’Kakek’. Ia mengumpulakan anak-anak jalanan dan menugasi mereka untuk mengemis sepanjang hari> Pagi-pagi buta kami diturunkan dari mobil dan baru dijemput ketika langit telah gelap. Hasilnya harus disetorkan semua, kami hanya diberi makan seadanya dan tempat tinggal juga sangat seadanya. Mereka (Bang Banu dan kawan-kawan) yang semuanya laki-laki seringkali bertindak buruk dan memukul kami jika hasil dari mengemis tak seberapa, akibatnya semakin menambah kebencianku kepada kaum lelaki. Aku benci mereka. Aku benci lelaki.
Ketika aku beranjak remaja dan memasuki usia baligh, aku mulai ketakutan kalau-kalau aku nanti dijual ke pria hidung belang, maka dengan susah payah, aku berhasil kabur dan ditolong oleh seorang wanita yang belakangan ku panggil ’Bunda’. Bunda sudah menjadi seorang janda sejak lama, suami beliau meninggal karena sakit. Bunda memiliki satu orang puteri hampir seusiaku. Ia sangat cantik, Nia namanya. Ialah yang kemudian menjadi sahabat sehatiku.
Baik bunda maupun Nia memperlakukanku dengan sangat baik. Mereka menggenapkan keyakinanku bahwa makhluk bernama wanita itu selalu baik dan lelaki itu selalu kejam. Keyakinan ini berdampak sangat fatal, bukan hanya membuatku tak melirik pria, namun membuatku merasa mencintai seorang wanita dan selalu ingin bersamanya, siapa lagi kalau bukan Nia.
Suatu saat seorang lelaki bernama Yogi melamar Nia. Ntah apa yang ku rasa. Aku jealous luar biasa. Ngambek berhari-hari sampai bunda dan Nia kebingungan. Pasangan pengantin baru itu tinggal bersama kami, alhasil setiap hari aku menyaksikan keromantisan mereka. Aku benci Yogi. Benci!
”Mas, A’!” Pinta Nia dengan sangat lembut agar suaminya membuka mulut untuk disuapi puding yang dibuat sendiri oleh Nia.
Lalu suaminya itu membuka mulut dengan tatapan bahagia dan aku mulai panas. Ku hampiri mereka, sendok yang hampir sampai ke mulut Yogi pun ku tangkis hingga jatuh ke lantai. Nia dan suaminya memandangku heran.
”Ada apa Wita?” Tanya Nia dengan nada yang tidak marah, suaranya tetap rendah dan lembut. Kesabaran Nia sangat mengagumkan bagiku. Nia sungguh memukau di mataku.
”Suami kamu itu bukan anak kecil lagi. Nggak usah disuapin segala!”
Lima tahun sudah berlalu. Bunda kini telah tiada. Tinggalah Nia seorang yang ada di hatiku. Beberapa kali setiap Nia dan suaminya menunjukkan keakraban di depanku, setiap kali itu pula aku datang mengganggu.
”Dia seperti orang cemburu sayang...” Jelas Yogi suatu kali kepada Nia, yang tak sengaja ku dengar.
“Cemburu kepada siapa? Kepada Mas? Nggak mungkin mas.”
“Bukan, tapi cemburu sama kamu.”
Nia melotot seolah tak percaya.
”Maksud mas, dia....?” Nia tak meneruskan kata-katanya.
”Iya.” Jawab Yogi mengiyakan.
”Nggak mungkin mas. Juwita itu saudaraku, kami saling menyayangi sebagai kakak dan adik.” Ucapan Nia terhenti di tenggorokan ketika melihat aku tiba-tiba datang.
”Silahkan tanyakan padanya.”
”Tidak, tidak akan.” Jawab Nia enggan.
”Iya, Yogi benar. Aku benci lelaki dan mencintai wanita. Aku mencintaimu Nia.” Jelasku akhirnya.
”Wita, Nia juga mencintai kamu. Kita adalah keluarga.” Sanggah Nia yang seolah tak ingin percaya dengan apa yang ku katakan barusan.
“Tidak, aku mencintaimu leih dari itu.” Ucapku kemudian pergi dan menangis seharian di kamar.
Tuhan, sebenarnya ku tidak ingin seperti ini. Sembuhkanlah aku. Merdekakanlah aku dari ketidak-normalan ini. Kirimkanlah pejuang untuk memerdekakan aku.
”Mas, tolong bantu aku untuk merubah paradigma berpikir Juwita bahwa tidak semua laki-laki itu kejam.” Pinta Nia kepada suaminya.
”Ya, mas akan tunjukkan sikap yang baik kepadanya.”
”Bukan hanya itu. Nikahi Juwita Mas.”
”Hah? Tidak. Lelaki baik itu ada banyak Nia.”
”Tidakkah mas juga menyangangi apa-apa yang juga aku sayangi?”
”Iya, tapi mas punya banyak teman yang belum menikah dan sangat baik kesehariannya. Kita bisa menjodohkan mereka. Kenapa harus mas? Mas sudah cukup dengan kamu.”
”Mas tau? kita sudah menikah lima tahun tapi tak juga punya momongan. Akan sangat bahagia jika orang yang menghadiahkan momongan itu adalah Juwita yang sudah ku anggap saudara sendiri. Ditambah lagi, aku khawatir tidak menemukan lelaki yang siap menerimanya apa adanya.”
Dengan berbagai upaya akhirnya Yogi setuju dengan usulan Nia. Namun aku,
”Tidak Nia. Aku akan menyakitimu.” Ucapku enggan.
”Mana mungkin aku ingin menyakiti diriku sendiri.” Bela Nia.
”Tau tidak? pengorbananmu justru akan semakin membuaku mencintaimu. Bukan malah terbebas dari belenggu ini.”
”Tapi kau akan tau kalau Yogi adalah lelaki yang akan berjuang membebaskanmu dari belenggu ini. Tidakkah kau ingin bebas? Tidakkah ingin merdeka?”
”Ingin.” Jawabku cepat.
”Kalau begitu, berjanjilah kau juga akan berjuang untuk dirimu sendiri!” Pinta Nia dengan sangat tegas membuatku beroleh semangat pejuang kemerdekaan angkatan 45.
Tiga tahun sudah aku menjadi isteri Yogi. Demi Nia. Ya masih demi Nia dan untuk Nia aku menghadiahkannya seorang anak lelaki yang lucu. Kelucuannya membuat aku tak tega membencinya walaupun ia berasal dari kaum lelaki dan aku, ntah apa yang terjadi padaku. Tak juga aku merasa mencintai mas Yogi. Ya, Nia melarangku memanggilnya ’Yogi’ saja.
Pekan depan, 17 agustus. Akan dirayakan banyak perlombaan dimana-mana, termasuk di lingkungan tempat tinggal kami.
”Kita akan ikut lomba sendal raksasa. Mau?” Tanya mas Yogi kepada kami.
”Mau-Mau.”Jawab Nia.
”Wita?” Tanya mereka berdua.
”Oke.” Jawabku tersenyum.
Mas Yogi memotong sebuah kayu broti dan karet ban. Ia membuat sendiri sandal raksasa yang dipakai tiga orang sekaligus untuk latihan persiapan lomba 17-an nanti. Selama latihan, sering kali aku terjatuh dan mas Yogi selalu menolong. Membimbing kami berdua dengan hitungan kesabaran.
”Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.” Ucapnya memberi aba-aba untuk setiap langkah yang kami hentakkan bersama.
Tibalah hari yang dinanti. Bendera merah putih semakin ramai dimana-mana. Di jalanan, di kenderaan dan juga di depan rumah kami tentunya. Kami memasangnya bersama-sama dua hari yang lalu. Benar-benar kerjasama yang indah menurutku.
Latihan yang serius membuahkan hasil yang memuaskan. Kami Hanya terjatuh sekali kemudian bangkit lagi. Saling berpegangan bahu dan melangkah dengan mantap. Orang-orang memandang kami dengan heran. Betapa tidak, dua isteri satu suami bisa sangat akur. Sungguh tak biasa. Tapi itulah kami, aku merasa memang luar biasa dan semakin luar biasa ketika diumumkan bahwa kamilah sang jawara lomba lari sendal raksasa ini. Kami bertiga bersorak senang. Terlebih mas Yogi yang telah berhasil melatih kami dengan susah payah. Mas Yogi pun memeluk aku dan Nia. Tiba-tiba. DegDegDeg. Aku merasakan jantungku berdebar lebih kencang. Ada apa denganku? Belum pernah aku merasakan ini. Sejenak aku tercengang. Ku pandangi mas Yogi di sebelahku yang masih bersorak bahagia dan aku merasa ia semakin tampan. Lalu akupun kembali bersorak gembira. Bukan hanya karena menjadi pemenang lomba, tapi karena aku merasa aku mulai mencintai sumaiku.
”Aduh, sakit mas.” Ucap Nia baru menyadari kakinya sedikit keseleo.
”Mana?” Tanya mas Yogi lembut.
”Ini...” Ucap Nia sambil menunjuk mata kakinya.
Mas Yogi kemudian memijit-mijit kaki Nia dengan tatapan penuh cinta. Refleks aku berkata, ”Aduh, sakit.”
Mas Yogi langsung menoleh, ”Sakit juga? Yang mana?” Tanyanya sama lembutnya.
”Yang ini.” Ucapku menunjuk hatiku dengan senyum penuh canda.
”Haha...” Kami bertiga tertawa.
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan dua pejuang untuk membebaskanku dari belenggu trauma masa lalu ini. Kini, aku merasa sama dengan siapa saja. Aku normal. Aku merdeka di hari kemerdekaan. Pikirku bahagia.
”MERDEKA!” Teriakku sambil mengepalkan tangan ke atas.
Nia dan mas Yogi tertawa.
“Kalau begitu kamu mirip pejuang Wita.” Ledek Nia.
“Tidak kalianlah pejuang itu.”
“Kita bertiga pejuang.” Ucap mas Yogi menengahi.
Serentak kami berteriak, ”MERDEKA!”.

Kamis, 06 Mei 2010

DOA-DOA RANI

Seorang bocah kelas empat SD, katakanlah namanya Rani dengan serius tengah menulis sesuatu sejak tadi. Berkali-kali ia terlihat berpikir kemudian menulis kembali di atas selembar kertas kemudian memasukkannya ke dalam sebuah amplop. Bundanya mulai bertanya-tanya sedang apakah anaknya gerangan. “Rani, sedang menulis apa?” Tanya Bundanya sembari mendatangi meja belajar Rani. “Sedang menulis surat Bunda.” Jawab Rani. “Untuk siapa?”, “Untuk Allah.” Bundanya tampak heran namun Rani memulai cerita bahwa tadi pagi di sekolah guru agamanya mengajarkan bahwa Allah akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya jika mereka meminta. “Ya, lalu untuk apa surat ini sayang?” Tanya Bunda masih tak mengerti. “Rani menuliskan semua doa-doa Rani di surat ini, Rani minta Allah mengabulkannya. Allah pasti membaca surat Rani, iya kan Bunda?”, “Iya sayang, Allah Maha Melihat, Allah pasti melihat surat Rani.”

Rani merupakan anak semata wayang di keluarganya. Ayahnya sedang mengidap sakit keras, bahkan dokter telah menyerah dan memvonis bahwa umur ayah Rani tidak akan lama lagi. Beberapa hari berlalu, kali ini, tidak seperti biasanya sebelum berangkat ke sekolah Rani memeluk tubuh ayahnya erat-erat, lama sekali, Rani mencium kening dan pipi ayahnya. Bundanya menatap sedih, seolah terlihat Rani khawatir tidak bisa melihat ayahnya lagi sepulang dari sekolah nanti.
Setelah Rani berangkat, Bunda Rani merapikan meja belajar anaknya, kemudian hatinya tergerak untuk membuka amplop-amplop yang berada di atas meja itu. Ia membaca surat buatan anaknya itu satu per satu. ‘Kepada Allah di tempat, Ya Allah, Rani besok mau ujian Matematika, baguskan nilai Rani ya Ya Allah. Amiin.’ Bundanya tersenyum kemudian membuka surat yang lain. ‘Untuk Allah yang Rani cintai, hari ini Rani menanam bunga di dekat jendela kamar Rani, tumbuh suburkan bunga-bunga yang Rani tanam ya Ya Allah. Terimakasih Ya Allah.” Di surat lainnya Rani menulis, ‘Ya Allah, hari ini Rani diganggu anjing si Anu. Hukum anjing si Anu itu Ya Allah.” Sejenak kemudian bunda Rani berhenti membaca, ia baru menyadari sesuatu. Doa-doa Rani itu, Allah telah mengabulkan semuanya. Beberapa hari yang lalu dengan bangga Rani menunjukkan nilai matematika yang bagus kepada bunda dan ayahnya. Bunda Rani langsung berdiri dan mengintip ke jendela, terlihat bunga berwarna-warni bergoyang-goyang ditiup angin sepoi-sepoi. Subhanallah! Bunga itu tumbuh subur seperti yang diminta Rani kepada Allah. Bunda Rani langsung membuka semua surat-surat yang lainnya. Kemudian hatinya bimbang dan heran. Mengapa tak satu pun surat yang berisi permohonan agar ayahnya segera sembuh?

Di siang harinya telepon rumah berdering, ”Assalamu’alaikum, dengan bundanya Rani?” suara di seberang sana. “Wa’alaikumussalam, iya. Dengan siapa? Ada apa ya?” Tanya Bunda Rani. “Ibu, saya guru Rani di sekolah. Kami ingin memberitahu ibu kalau Rani mengalami kecelakaan, ia terjatuh dari lantai empat sekolah dan meninggal.” Betapa shock dan kagetnya mendengar berita yang menimpa puteri semata wayangnya.

Setahun sudah berlalu semenjak kejadian itu. Ayah Rani yang dulunya telah diprediksi oleh dokter tidak akan berumur lama lagi tersebut masih hidup hingga kini. Bahkan keadaannya semakin hari semakin membaik. Ayah dan bunda Rani masih sangat kehilangan dan terpukul sehingga mereka tak pernah lagi membuka kamar tidur Rani dahulu. Mereka mengunci kamar itu dan tak pernah masuk ke dalamnya karena akan merasa sangat sedih jika melihat kamar itu. Hingga suatu kali saat Bunda Rani tengah lewat di depan pintu kamar Rani terdengar bunyi sesuatu, seperti suara benda jatuh. Akhirnya karena penasaran Bunda Rani membuka pintu itu setelah setahun lamanya terkunci. Ternyata yang terjatuh adalah ukiran ayat kursi dari kayu yang tergantung di kamar Rani. Bundanya pun bermaksud membersihkan debu di benda itu dan menggantungnya kembali di dinding. Namun, ia melihat sesuatu terselip di balik ukiran kayu itu, ternyata surat Rani! Bundanya membuka kertas itu dan membaca isinya, ’Ya Allah, Ayah Rani sedang sakit keras Ya Allah. Tolong jangan ambil nyawa Ayah Ya Allah. Ganti saja dengan nyawa Rani.’

Diangkat dari sebuah kisah nyata yang dikisahkan di radio Fajri FM Bogor

RESENSI BUKU

Judul : How to be A Smart Writer
Pengarang : Afifah Afrah
Penerbit : Afra Publishing
Tebal Buku : 1,1 cm/233 halaman
Tempat Terbit : Surakarta
Tahun Terbit : 2006

Dari awal buku ini sangat mempropokasi pembaca untuk menjadi seorang penulis yang produktif. Bahasa yang digunakan pun mudah dicerna dan sangat persuasif. Dimulai dengan penjelasan sepuluh alasan mengapa seseorang harus menulis, dilanjutkan dengan kiat-kiat dalam membuat cerpen, novel, artikel, dijelaskan pula karakteristik dari jenis-jenis tulisan tersebut, penggunaan bahasa yang baik beserta contohnya, kekonsistenan dalam alur dan sebagainya. Disertai lembar khusus bagi pembaca untuk bisa mempraktekkan langsung menulis mengenai hal-hal yang baru saja diajarkan oleh Afifah Afra. Dijelaskan pula bagaimana tips dan trik dalam mempublikasikan karya, sampai bikin perusahaan penerbitan sendiri, dari mulai modal yang diperlukan, persiapan, kerjasama dengan beberapa pihak. Selain itu, pembaca juga diberi pemahaman tentang proses lahirnya sebuah buku, dari mulai seleksi naskah, editing, pracetak, cetak, penentuan harga dan pemasaran. Serta dilampirkan pula beberapa alamat penerbit serta alamat agen-agen buku di beberapa daerah di Indonesia. Namun, buku ini memiliki sisi kelemahan yakni hanya membahas karya sebatas cerpen, novel dan artikel saja. Seandainya dijelaskan pula cara menulis chiken soap, feature, roman dan jenis karya tulis lainnya, pastilah sangat sempurna. Sisi kelemahan lainnya adalah tidak dituliskannya tahun terbit dan sudah cetakan keberapa buku ini diterbitkan sehingga tahun terbit baru bisa ditemukan di dalam bacaan (isi tulisan). Namun, secara keseluruhan membaca buku ini akan semakin menyemangati pembaca untuk menjadi penulis yang senantiasa produktif bahkan akan menimbulkan sisi optimis “Bikin penerbit sendiri, why not?”. Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca siapa saja khususnya bagi mereka yang merasa hobi menulis, para pecinta karya tulis, dan penulis pemula.

Minggu, 21 Februari 2010

Menangis Mata

Waktuku habis ditepas batas
Terenyuh sukma tak jua mereda
Aku jalanan tersiram legam
Tak pantas merana karena tercacah
Tiada bergetar dua iga
Menggigit nestapa dunia
Tak berdenyut nadi pemangsa
Menjilat pahit luka bernanah
Apalah arti kendali kekang
jika tak mampu kuasa diri
Menangis, menangislah mata
sampai pincang sedia kala
Menangis, menangislah mata
sampai tak tersisa segala payah
Jangan harap bertoreh suka
kala hidup enggan menelan duka

Berujung pada Nista

Butiran pasir terkikis banyu
Menyentuh pusaran tak terganggukan
Berderu bersama ombak liar
Melintasi liku demi liku
Ah, Aku bukan pasir lagi sekarang
Aku air kuat tahan terpaan
Lalu air pun terhempas
Terbuang bersama angin pantai malam
Meliuk-liuk mengoyak dedaunan
Ah, aku bukan air lagi sekarang
aku angin petualang raya
Lalu bosan di atas awan
Kembalilah aku menjadi pasir
Namun tak ada yang mengenalku
Kembali aku kepada air
ia bahkan tak mengakuiku
Kembali aku kepada angin
pun sama adanya
Bertanya aku pada liat tanah
tentang siapa aku
Akhirnya aku tahu
Aku bukan siapa-siapa
bukan pula apa-apa
hanya sosok berujung nista

_Tentang seseorang yang tak teguh pendirian, terbawa begitu saja oleh arus buruk lingkungannya_

Sang Penyulam Embun

Gelap dunia kala mata masih terjaga
Belum lagi fajar menyapa
terbuka utuh roh dan raga
Bibir tersenyum menatap nyata
walau dingin mematah tulang
Tangan kilat menyulam embun
walau darah menetes meruah
jadikan merah pada sulaman
Sungguh menggema tutur sabar
bersama jarum-jarum tawakal
Embun pun bersulam melawan waktu
sebelum menjelma terik siang
Menguapkan indah sulaman embun
inilah aku
sang penyulam embun
yang tak pernah letih
mengejar tetesan di pagi buta
demi sehelai sulaman embun

Selasa, 09 Februari 2010

Liku Kehidupan

AIR SUNGAI MENUJU LAUT MELEWATI JALAN YANG BERLIKU......

Begitupun kita di dalam kehidupan ini, Untuk mencapai suatu tujuan mulia. Jalan yang dilalaui tidaklah nyaman, pasti berliku, ada tanjakan tinggi, turunan terjal, tikungan tajam.

Pertanyaannya, siapkah kita menjadi sopir dalam perjalanan singkat kita di dunia ini? Mampukah kita memutar kemudi dengan baik tanpa terjatuh ke jurang atau menabrak tebing? Mampukah kita mempertanggungjawabkan keselamatan para penumpang kita?

Dalam menjalani liku kehidupan ini, tentunya bukan hanya kecakapan dalam mengemudi yang kita perlukan, melainkan diperlukan pula kenderaan yang baik, aman dan nyaman. Maka pastikanlah bahwa sekarang kita sedang berada dalam kenderaan yang benar dan jalur yang benar pula.

Miliki pula surat-surat yang lengkap yang berisi aturan yang kita patuhi dan pengetahuan akan rambu-rambu kehidupan, bersiaplah menerima konsekuensi jika kita melanggarnya.
Pastikan sabuk pengaman telah terpasang agar kita tahan guncangan dan kokoh pendirian.

Dan yang terpenting adalah membuang sifat egois kita, jangan menyelematkan diri sendiri, ajaklah orang-orang yang terdekat kita untuk ikut berada pada jalur yang benar pula. Bukan malah menabrak mereka dan membuat mereka terperosok ke dalam jurang kemungkaran.

Selamat menikmati indahnya lika-liku kehidupan. Jika kita telah kehabisan bensin nyawa dan tak bisa beroperasi lagi di dunia ini. Semoga Alloh kumpulkan kita di jannah-Nya dengan segala keridhoannya. Amiin...

Senin, 08 Februari 2010

“TBC Semua Bisa Kena, Semua Bisa Sembuh.”

Mengenang waktu SMA dulu, saya pernah ikut lomba Ceramah ilmiah sekaligus karya ilmiah tentang TBC, tapi pas lagi hari H malah terserang batuk. Antara yakin tidak yakin tetap maju juga, berusaha tetap tegar kalau nanti diketawain, kan lucu banget lagi ceramah tentang TBC tapi malah uhug-uhug. Sudah punya pikiran aneh, bakal ngomong, "Gejala TBC adalah batuk disertai dahak selama tiga minggu lebih, uhug...uhug... Ya, kayak saya gini contohnya." hehe, Untungnya Alloh memberikan pertolongan-Nya, hampir 1 jam ceramah di panggung, tapi nggak batuk sama sekali. Ajaib! Hasilnya walau nggak juara satu, tapi alhamdulillah menggondol piala juga.

Tapi bukan itu sih yang mau saya sampaikan, melainkan sedikit informasi dari Karya ilmiah saya waktu itu, semoga bermanfaat buat semuanya, khususnya yang sering batuk, perlu waspada. Tulisan ini merupakan hasil tinjauan beberapa pustaka yang terpercaya, insyaAlloh.

TBC merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Robert Hook pada tahun 1882. TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan manusia. Yang lebih mengerikan lagi Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia setelah RRC dan India. Gejala umum TBC adalah batuk disertai dahak selama tiga minggu atau lebih, dampak lainnya adalah batuk dapat disertai darah, nafsu makan menurun, berat badan turun dan berkeringat pada malam hari walaupun tidak melakukan aktivitas apa-apa. Sedangkan masa inkubasi TBC adalah enam bulan.

Penyakit ini kebanyakan menyerang orang yang berada dalam usia produktif ( 15-50 tahun ) akibatnya penyakit ini dapat menurunkan nilai mutu SDM yang kemudian berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi.

Menurut data WHO ( 1996 ) Jika penderita TBC tidak diobati dalam waktu lima tahun, maka 50 % dari penderitany akan meninggal dunia, 25 % sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25 % lagi akan terus menjadi kasus kronik yang menular.

Untuk itu, penanggulangan TBC merupakan hal yang sangat penting. Adapun pengobatan yang dapat ditempuh dapat berupa diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak, rontgen dada, pemberian OAT ( Obat Anti TBC ), Amnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium darah rutin, tes PAP, tes Mantoux, BACTEC, Mycodot dan lain-lain. Penderita TBC tidak perlu putus asa karena TBC semua bisa kena, semua bisa sembuh.

Daftar pustaka:
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran UI. Jakarta : Media Aesculapius
Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi Untuk SMA kelas X. Jakarta : Erlangga
Prawirohartono, Slamet. 2003. Sains Biologi SMU kelas 1. Jakarta : Bumi Aksara

Selasa, 26 Januari 2010

Jilbab Muslimah

Aku adalah seorang muslimah
Aku berjilbab
Engkaupun berjilbab

"Mengapa kita berjilbab?"

Bagi kita,
Jilbab bukan sekedar hijab
Tapi juga mahkota mulia
Lambangkan sucinya jiwa

Jilbab bukan sekedar mahkota
Tapi jua perisai tangguh tak terganggu

Jilbab tak sekedar kain panjang
Tapi ia karpet ajaib yang akan membawa kita terbang ke surga

Jilbab tak sekedar selendang tergerai
Tapi ia jalan muslimah menuju Tuhan-Nya

Tapi, "Mengapa masih banyak saudariku yang belum mengerti?"
"Mengapa mereka tak jua berjilbab?"

Khawatir terkungkung? Khawatir terpenjara?

Saudariku, kapan engkau berhijab?
Saudariku, engkau terlalu indah
engkau terlalu cantik
engkau makhluk Alloh yang mulia

Jilbab ini saudariku tak akan menjadi aral bagimu
Tak akan menyiksamu , Tak akan!

Inilah wujud cinta Allah kepada kita
Allah berfirman, "Katakanlah kepada wanita yang beriman, Janganlah mereka menampakkan perhiasannya,Kecuali yang biasa tampak darinya"

Pesan itu penuh cahaya
Akankah kita mendengar?
Katakanlah,"Kami dengar dan kami taat."

Senin, 25 Januari 2010

Perlu Tidaknya Kafa'ah dalam Pernikahan

Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Sebuah jalinan yang penuh berkah akan membawa kepada keridhoan Alloh SWT, dan sebagai bentuk kecintaan kita kepada sunnah rasul yang kelak akan membuat beliau merasa bangga dengan umat beliau yang banyak jumlahnya. Tentu saja kita bercita-cita tidak hanya banyak dari segi kuantitas tetapi juga unggul dari segi kualitas, umat yang berkualitas di sini adalah generasi yang sholih dan sholihah, yang mencintai Alloh dan rasulnya di atas segalanya, yang bertakwa dan berakhlak mulia. Untuk menciptakan generasi yang seperti itu tentunya haruslah melalui jalan yang benar, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup.

Dalam memilih calon pasangan hidup, kita mengenal istilah se-kufu’ atau kafa’ah. Kufu’ berarti seimbang. Seorang lelaki harus menikah dengan wanita yang seimbang dengannya, demikian pula sebaliknya. Sebagian orang berpendapat bahwa kufu’ merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan, namun sebagian lagi menganggap kufu’ bukanlah syarat sah pernikahan. Pendapat yang mayoritas disetujui oleh para ulama adalah pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa kafa’ah (kufu’) itu meskipun diperlukan bukanlah syarat sah pernikahan. Imam Syafi’i berpendapat sama dengan pendapat imam Malik bahwa kafa’ah itu diperlukan bukan disyaratkan.

Lalu jika kafa’ah ini diperlukan, timbul pertanyaan di benak kita,
"Dalam hal apa saja kafa’ah itu?"
Imam Malik berpendapat, kafa’ah itu dalam hal agama saja.

Ternyata ada pula beberapa yang menyebutkan kafa’ah itu dalam enam hal, yaitu keturunan, agama, kebebasan, pekerjaan, usia dan terlepas dari empat aib yakni kusta, penyakit sopak, gila dan impoten.

Alloh SWT telah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Alloh adalah orang yang paling bertakwa diantara kalian.”(Q.S. Al-Hujurat:13).

Selain itu rasululloh pernah bersabda, “Manusia ini secara keseluruhan adalah anak Adam, dan Adam itu tercipta dari tanah. Di hadist yang lain rasululloh bersabda, “Manusia itu adalah seperti gigi-gigi sisir, tidak ada keutamaan satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaan.”.

Dengan demikian, se-kufu’ dalam hal agama dan ketakwaan adalah hal yang jauh lebih penting daripada se-kufu’ dalam hal harta, nasab (keturunan), jabatan dan lain sebagainya.

'Dalam kitab Subulussalam, Ash-Shan’ani telah menguraikan masalah kafa’ah itu dalam hal agama saja jika seorang wanita dan walinya telah menyetujuinya, adapun jika mereka masih berpegang pada adat dan tradisi yang menyangkut keturunan, materi, pekerjaan dan lain sebagainya, maka yang demikian itu boleh-boleh saja.'

Seorang wanita lebih penting memilih lelaki yang se-kufu’ dengannya dalam hal ketakwaan dibandingkan seorang lelaki. Hal ini dikarenakan posisi laki-laki di dalam rumah tangga sebagai imam. Seorang suami yang tidak bertakwa akan lebih mudah membawa isterinya kepada kehancuran. Sedangkan seorang suami yang memiliki isteri yang tidak se-kufu’ dengannya seharusnya tidak akan membahayakannya. Wallohualam.

Qyhana Ray

Selasa, 12 Januari 2010

Blog Jadi Tempat Curhat, Kenapa Nggak?

Pastinya ada kalimat-kalimat indah yang kita pikirkan ketika kita bahagia, ada pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat ketika sesuatu tiba-tiba menghampiri, ada curahan-curahan hati saat sedih, ada uneg-uneg saat jenuh... Selalu ada yang dipikirkan, iya kan ya? Iya dong, karena manusia tak pernah lepas dari yang namanya berpikir. Nah, akan lebih baik jika kita mengikat pikiran-pikiran itu lewat tulisan seperti 'sajak-sajak hatiku' yang ku titip di sebuah jendela maya bernama blog. Hasilnya cukup 'plong' ketika berhasil menuliskannya, dan cukup membuat tersenyum ketika membacanya kembali.
Tuliskan sesuka hatimu, tak perlu berpikir harus memulai dari mana, tuliskan saja yang lewat di pikiranmu, sekalian belajar nulis juga khan? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama kita tau batasan-batasan mana yang bisa ditampakkan eksplisit dan mana yang harus dikeluarkan secara implisit. Dan yang perlu di ingat ini curahan hati kamu, tidak perlu berdamai dengan 'ketidaksukaan orang'. Kamu boleh mencoba dan buktikan menulis itu mudah, apalagi menuliskan isi hati yang kita sendiri yang lebih tahu dibandingkan orang lain mana pun di seluruh dunia ini.

Ketika sebuah 'pesan' menghampiriku.

Haruskah ku bunuh hasratku?
Dosakah bila hasrat ada di jiwa?
Padahal ia memberi warna di hariku
Bahkan tempatnya tak sama dengan ruang khusus yang satu
yang hanya milik Robb-ku.

Rabu, 06 Januari 2010

Itu Dusta

Adalah dusta ketika engkau berkata
aku tak cinta
Satu mata, satu telinga, satu raga
ialah sang belahan jiwa

Adalah dusta ketika engkau berkata
tak ada dosa bagi hati yang hina

itu dusta
dan tak ada dusta yang ku suka

hingga nanti terbuka
segala apa yang tak terbuka
semoga aku tak alfa