Senin, 12 Juli 2010

DUA WAJAH DUA VERSI

DUA WAJAH DUA VERSI

Cerpen Qyhana Ray-FLP Bogor.
Bismillah, ku atur nafas perlahan, tak lupa ku baca doa melancarkan lisan berharap agar tiga puluh dua pasang mata yang kini tengah menatapku mengerti dan tertarik dengan sesuatu yang sedang ku tawarkan.
“Demikian presentasi dari saya. Selanjutnya, terkait persoalan marketing akan dijelaskan oleh rekan saya, Bapak Tirta.”
Tepuk tangan bersahut-sahutan mengakhiri presentasi kami di depan orang-orang yang tak lain adalah para calon investor Perusahaan Tirta Yoga Abadi, sebuah perusahaan kecil yang baru saja kami rintis.
Aku duduk masih dengan jantung berdegup kencang. Entahlah ruangan ini ber-AC tapi perasaan grogi telah membuat keringat dinginku mengucur. Namun perlahan saat ku tatap satu per satu wajah-wajah di depanku, tampaklah sunggingan-sunggingan senyum dan anggukan-anggukan kepala. Ah leganya. Setidaknya pemandangan tersebut membuat nafasku mulai teratur.
“Alhamdulillah, selesai juga hari ini. Capeknya.” Ucapku merebahkan diri di atas kasur masih lengkap berserta stelan kemeja dan jas yang baru ku beli kemarin. Kami berdua tinggal di sebuah apartemen.
“Walaupun ini sangat melelahkan, tapi menyenangkan bukan?” Sahut Tirta sembari membuka laptopnya di depan meja. Tampaknya kalimat ‘selesai juga hari ini’ tak berlaku bagi Tirta.
“Ayolah kawan, malam ini kita istirahat dulu. Besok pagi kita mulai bergerak lagi.” Ucapku bangkit dan menyambar latop miliknya.
Ia menatapku sejurus kemudian berkata dengan nada super serius, “Semenjak dulu aku selalu bermimpi bisa memberi manfaat untuk orang banyak melalui jerih payahku sendiri. Tapi ayahku tidak pernah percaya itu.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Ayah selalu berkata bahwa aku tak perlu bersusah payah dalam hidup karena ia telah memiliki segalanya. Sungguh, aku tak suka diperlakukan seperti raja yang terus-menerus dilayani. Kau tahu kenapa?” Tanyanya sambil menarik laptopnya kembali dari tanganku.
Aku menggeleng.
“Karena Alloh telah menganugrahkan banyak nikmat bagiku dan aku harus bersyukur pada-Nya dengan cara mengoptimalkan semua potensi yang ku miliki.” Jelasnya.
Aku heran, malam-malam begini ia masih terlihat segar seperti ada embun pagi di wajahnya. Padahal kemarin semalam suntuk kami bagadang dan dari pagi sampai malam begini baru pulang. Beda sekali denganku, mukaku sudah kucel, badan pegel-pegel dan mata ngedumel minta diistirahatin. Ah, mungkin perbedaan gizi di waktu kecil membuat ketahanan fisik kami sangat berbeda. Begitulah hiburku setiap kali melihat Tirta yang rasa-rasanya tak pernah lelah bekerja. Jika aku jadi dia mungkin aku sudah duduk enak-enakan di atas kursi empuk atau jalan-jalan keliling dunia. Betapa tidak, Tirta adalah putera tunggal Bapak Yudha Husada, salah seorang enterpreneur sukses di Indonesia, bahkan nama ayahnya berada pada jajaran atas milyarder di Asia Tenggara. Sedangkan aku, aku hanya anak nelayan kecil. Hidup di pinggir pantai dan besar karena makan ikan asin dan sambal terasi.
Banyak orang yang melihat keakraban kami mengira bahwa aku dan dia sudah bersahabat semenjak lama. Padahal tidak. Aku baru mengenalnya tujuh bulan yang lalu di acara Seminar Wirausaha Muda Nasional. Waktu itu kami sempat mengobrol dan langsung merasa cocok untuk bekerja sama. Alasan utamanya adalah karena kami punya cita-cita yang sama, yaitu ingin mendirikan perusahaan Agroindustri kelapa. Alasan sampingannya adalah karena ia terlihat cerdas di mataku dan ia mengatakan hal yang sama pula kepadaku. Baru tiga bulan kemudian aku tahu ternyata ia anak ‘Wong Gede’. Tirta Yudha Husada, begitu nama lengkapnya. Namun ia tak suka orang memberikan perlakuan istimewa kepadanya hanya karena embel-embel nama beken sang ayah. Oleh karena itu, ia biasa mengenalkan dirinya sebagai Tirta Abadi.
Bagiku, ia sosok luar biasa. Tampan, tajir, low profil, cerdas, mantan anak rohis pula. Bener-bener bikin aku merasa diriku serba ‘terlalu biasa’. Walaupun ayahnya kaya tapi tak sedikitpun ia memanfaatkan kekayaan itu untuk bersenang-senang, bahkan ia berjanji kepada ayahnya akan sukses dengan bisnisnya bersamaku yang kami mulai dari nol ini.
Kini aku hanya memperhatikan Tirta yang tengah sibuk cetat-cetut di depan laptopnya. Melihatnya seperti itu aku jadi tak tega untuk tertidur pulas. Tapi aku juga sudah tak sanggup berpikir. Maka aku hanya diam duduk di depannya, kadang pura-pura berpikir, tertunduk dan terus menguap. Yakin deh warna bola mataku sudah tak jelas antara merah atau kuning seperti mata ikan asin yang ku makan waktu kecil dulu dan lebih yakin lagi kalau matanya Tirta pasti masih berbinar, segar seperti mata ikan Salmon yang mungkin sering dimakannya waktu kecil dulu. Aku mulai melamunkan ikan Salmon berenang-renang di lautan, sesekali ikan itu mengedipkan matanya kepadaku.
“Yoga, bagaimana menurutmu kalau kita bekerjasama dengan lembaga penelitian?” Tanya Tirta dan barang tentu aku yang tengah asyik dengan ikan Salmon di lautan tak mendengarnya.“Yoga… YOGA!!!” Teriaknya, lamunanku buyar.
“Tidakkah kau membantuku berpikir? Kalau kau begini terus, mau dibawa kemana perusahaan kita? Ingat tadi sepanjang hari kita telah berhasil membuat banyak orang menginvestasikan uangnya untuk bisnis kita. Ini amanah. Besok masih banyak yang harus kita kerjakan.” Katanya membuatku sedikit takut dan lagi-lagi aku merasa perbedaan gizi di masa kecil membuatku tak sewibawa dirinya. Aku terpaksa meninggalkan lamunan dan analisisku tentang hubungan antara warna bola mata kami dengan ikan-ikan yang kami makan di masa lalu.
“Iya.” Jawabku bersungut-sungut.
Ia menatapku iba kemudian bangkit berdiri dan kembali dengan secangkir kopi hangat di tangannya, “Maafkan aku kawan, maaf jika nada bicaraku agak sedikit meninggi. Mungkin aku terlalu bersemangat menjalankan bisnis ini. Minumlah.” Ia meletakkan kopi itu di atas meja dan menepuk pundakku sambil tersenyum. Aku merasa tak enak hati dan tersetrum sedikit semangatnya, “Ah, tidak apa. Ini baru jam sepuluh. Biasanya juga kalau piala dunia aku kuat melek sampai pagi, haha…” ucapku langsung menyambar segelas kopi itu.
Teng… Teng…Teng. Bel jam dinding berbunyi pertanda hari telah berganti. “Hah, sudah merdeka…!!!” Ucapku bersemangat karena kini telah berganti tanggal dari 16 menjadi 17 Agustus.
“Ya, kau sudah merdeka. Sekarang boleh tidur. Besok pagi-pagi kita masuk lab untuk uji coba produk.”
“Hah, besok ke lab? Sayang sekali, padahal aku menghayalkan ikut lomba panjat pinang.” Gerutuku.
“Astaghfirulloh.” Tirta menepuk jidatnya seolah ada nyamuk raksasa tengah bertengger di jidat itu. “Besok, 17-an ya? Aku sampai lupa.” Lanjutnya dengan ekspresi yang sungguh tak ku duga.“Kalau begitu, kita nggak jadi masuk lab, kita ke lapangan Parasamya aja.”
“Hah??!! Serius…?” Tanyanku tak percaya. “SERIUS.” Jawabnya. “Yess. Panjat pinang, I’m Coming.”
Pagi-pagi kami menuju lapangan Parasamya berboncengan naik sepeda motor. “Kita singgah ke percetakan Matahari dulu.” Ucapnya. “Untuk apa?”, “Mengambil leaflet dan pamphlet. Tadi malam aku email ke sini dan mereka bilang pagi sudah jadi. Di Parasamya pasti banyak orang. Kita bisa promosi bisnis, promosi produk, tawaran kerjasama dan bisa O-R karyawan juga.” Jawabnya. Aku menelan ludah, padahal bayang-bayang panjat pinang sejak malam masih melekat di kepalaku. “Tenang saja, jika sudah selesai kamu bisa panjat pinang.” Ujarnya seolah bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum senang. “Baiklah kalau begitu, Lets Go!!!”
Kami tiba di lapangan Parasamya, tempat yang biasanya paling membludak kalau lagi 17-an gini. Serba-serbi lomba diadakan, orang-orang berseliweran. Mataku melirik pohon pinang yang tengah ditancap di tanah, aku rindu bau minyak oli hitam yang melekat padanya. Aku melakukan tugas dengan semangat. Usai istirahat makan dan sholat dzuhur kami kembali melakukan misi kami. Tak terasa sebar-sebar pamphlet dan leaflet telah selesai. Mataku mulai celingak-celinguk mencari Tirta. Ah, sudahlah tempat ini terlalu luas untuk menemukannya. Aku begegas menuju areal panjat pinang. Tak sabar rasanya.
Di tengah asyiknya pertandingan hujan turun, awalnya hanya rintik-rintik namun kini semakin deras. Badanku yang sudah hitam dan licin terguyur hujan. Ah, ini menyenangkan sekali.
Aku baru tiba di apartemen menjelang magrib. Tirta sudah duduk rapi dengan kopeah dan qur’an di tangannya. Ia tersenyum melihat baju merah putih yang ku kenakan. “Darimana kau dapat baju itu?” Ledeknya. “Hehe… Hadiah panjat pinang Bro…” Jawabku bangga.
Malam telah datang dan siang telah berlalu. Aku dan Tirta duduk di sofa menikmati pemandangan dari atas balkon. Hari ini kami tidak berencana lembur bekerja Namun sungguh tak direncanakan kami malah tak tidur semalaman hanya karena sebuah pertanyaan, “Apa arti kemerdekaan buat kamu sewaktu kecil dulu?”
“Bagi si miskin seperti aku, jujur semenjak kecil arti merdeka bagiku hanya ‘kesempatan mendapat banyak hadiah’. Aku selalu membuat list kebutuhanku seperti buku, tas, sepatu dan mendatangi panitia lomba untuk bertanya, ‘lomba yang ini hadiahnya apa?’ lalu aku akan ikuti lomba yang lebih dulu hadiahnya ku inginkan. Hadiah memotivasiku luar biasa sehingga selalu jadi jawara 17-an. Maklumlah. Aku miskin, hadiah itu sangat aku dan adik-adikku butuhkan dan lomba panjat pinanglah yang paling aku senangi, karena hadianya sudah terpampang dengan jelas. Makanya aku senang panjat pinang. Aku rajanya.“ Jelasku panjang lebar. “Oya, kau tahu, sejak usia sepuluh tahun hingga kini aku belum pernah absen panjat pinang.”
Tirta manggut-manggut kemudian angkat bicara, “Bagiku merdeka adalah bisa mandi hujan.” Ungkapnya singkat. “Hah?!” tanyaku heran. “Ya, dari kecil aku diperlakukan seperti raja. Pergaulan dibatasi dan dikelilingi banyak baby sitter. Padahal aku bukan baby lagi. Dan mereka tak pernah mengizinkanku mandi hujan, padahal aku sangat ingin. Untungnya, ayahku cukup nasionalis jadi ia memberiku SIMH alias Surat Izin Mandi Hujan di hari kemerdekaan.Ya, dulu, setiap melihat anak-anak di film sejenis bocah petualang di TV, aku selalu iri.”.
“Dan akulah si bocah petualang itu.” Selaku.
“Kau beruntung.” celetuknya membuatku tak percaya. “Aku selalu ingin menjadi seperti kalian, bebas bermain.”
Aku tertawa geli, ntah kenapa aku gampang ketawa seusai panjat pinang hari ini, mungkin terlalu gembira. “Aneh, kau tahu si bocah petualang itu ingin menjadi pangeran seperti dirimu. Hidup serba berkecukupan, tidak kelaparan, tidak kedinginan, ah aku rasa itu sangat nyaman.”
Tirta pun kemudian ikut tertawa, “Intinya manusia tak bersyukur ya… Ibaratnya yang gemuk pingin kurus, yang kurus pingin gemuk.”.
“Iya ya. Eits, tunggu dulu. Memangnya setiap 17-an itu hujan ya?” Tanyaku bego.
“Hari merdeka yang paling berkesan bagiku itu hanya lima kali. Pertama saat umur 9 tahun, 15 tahun, 17 tahun, 21 tahun dan sekarang. Karena kelimanya hujan.”
“Hh,,, kebayang senengnya kayak apa. Sampe hafal gitu umur berapa aja.” Ejekku.
“Tunggu dulu tak hanya sekedar mandi hujan, aku bertualang menelusuri jalan-jalan yang belum pernah ku lewati sebelumnya, sampai aku menemukan sesuatu yang ku sukai. Kau tahu apa itu?”
“Wanita.” Jawabku ngasal.
“Ah, bukan. Payung. Anak-anak kecil membawa payung. Mereka berbaris di pinggir jalan dan kemudian aku tahu kalau mereka ternyata menawarkan jasa ojeg payung. Lalu aku membeli payung dan melakukannya pula. Kau tahu,, payungku selalu laris karena aku bilang ‘Gratis’. Haha… Agar para ojegers yang lainnya tidak sedih, aku bagi-bagi rizki ke mereka. Aku akan memberitahumu sebuah rahasia.”
“Apa itu?” Tanyaku sangat tertarik.
“Semenjak itu, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan terus melakukannya jika di hari kemerdekaan turun hujan.”
Aku melonjak, “Hah?! Berarti tadi juga?”
“He-eh” Tirta mengangguk.
Dengan seribu penyesalan aku berkeluh kesah ”Ah sayang sekali. Kalau aku ngelihat pasti seru sekali. Ah bro, aku ingin lihat. Seorang Tirta Yudha Husada ngojeg payung, haha…”
“Karena kau sangat penasaran, kau bisa melihatnya sekarang.” Ucap Tirta, masuk ke dalam kemudian kembali ke balkon bersama sebuah payung berukuran besar. Saat payung itu terbuka telihat coretan spidol hitam bertuliskan ‘Jasa Payung Gratis Khusus Anak Kecil dan Lansia’. Kemudian ia berdemo di depanku, “Ayo Nek, saya payungi, ayo Kek Gratis, Adik mau kakak payungi?” Aku tertawa geli, kali ini sampai agak cekikikan.
“Tertawalah, tapi kalau tidak aku buat seperti ini, apa jadinya aku? Gadis-gadis yang membawa payungpun pasti akan membuang payungnya.”
“Hahaha… kau lucu sekali.” Aku memegangi perutku membayangkan gadis-gadis itu pasti ingin menjadi tua hanya untuk sejenak. “Lalu kalau tidak hujan, apa yang akan kau lakukan?” Tanyaku berhenti tertawa.
“Mandi hujan juga. Tapi di shower.”
“Hahaha…”
“Kenapa ojeg payung tidak kita jadikan bisnis saja?” Candaku.
“Tidak kawan! itu spesial di hari merdeka saja.”
Malam semakin larut, kami tetap asyik bertukar cerita tentang dua wajah kisah unik hari kemerdekaan dari dua versi yang berbeda, si kaya dan si miskin. Mungkin hanya malam ini. Esok, ketika pucuk mentari menyapa, aktivitas pun seperti sedia kala dan dua wajah dari dua versi itu akan menjadi satu kembali, pekerja keras.

PEJUANG PEMBEBAS (Fiksi Belaka)

Kata orang, ada banyak warna-warni cinta seperti layaknya pelangi. Cinta tak hanya sekedar hitam dan putih. Namun bagiku, cinta hanya memiliki satu warna. Kelabu! Ya, kelabu bagaikan warna langit ketika mendung. Seperti itulah warna cinta bagiku.
Aku bukanlah seorang wanita yang sudah berkali-kali patah hati, bukan pula seorang wanita yang selalu berhasil dalam percintaannya. Bukan! Sama sekali bukan karena aku adalah himpunan bagian dari mereka yang minoritas di dunia ini. Kaum lesbi. Setidaknya aku merasa hampir menyerupai kaum itu. Sungguh, aku tak pernah meminta kepada Tuhan agar aku termasuk ke dalam kategori yang minoritas itu. Namun setelah mengalami perjuangan yang panjang, aku memiliki kesadaran penuh bahwa segala apa yang terjadi dalam hidupku adalah ujian dari Tuhanku.
Namaku Juwita. Sedari kecil aku hidup di bawah baying-bayang kekerasan, memiliki ayah yang tak berperasaan membuatku putus harapan untuk kuat menghadapi terpaan demi terpaan, hanya keyakinan kepada Tuhan yang terus memberiku kekuatan. Aku selalu menemui hal yang membuatku sangat membenci kaum lelaki. Aku membenci mereka seperti aku membenci ayahku. Sungguh tragis, lelaki itu tega membakar isterinya hidup-hidup hanya karena isterinya membangunkannya sholat shubuh. Aku si kecil malang itupun nyaris terbakar saat itu. Bahagia sekali rasanya setelah pengadilan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada lelaki yang tak penah ku panggil “ayah” lagi semenjak kejadian berapi itu.
“JUWITA!!!” teriak ayahku. Aku berlari mengayunkan kaki kecilku menuju kamar, sekelebat pintu itu terkunci dan aku bersandar padanya.
Dug…DugDug…. Pintu itu digedor dengan sangat keras seakan-akan engselnya hendak copot dari tempatnya. Tubuhku bergetar, mata ini keluh sudah mengeluarkan air mata yang membanjiri wajah dan bibirku yang membiru karena ketakutan.
Dugdugdug. “Juwita, BUKA!” Teriaknya lagi. Setiap pintu digedor dengan keras, setiap itu pula tubuhku berguncang, setiap ayah berteriak setiap itu pula aku bergetar ketakutan. Jika pintu terbuka, habislah aku kena hantam karena telah berani-berani mengganggunya berjudi di warung Pak Urip.
Setelah lama, pintu tak jua jebol apalagi terbuka. Ayah pergi setelah sebelumnya menendang pintu dengan sangat marah. Kemuadian beranjak ke dapur mencari sasaran selanjutnya. Ibuku. Wanita itu, ah pilu hatiku ketika mengenang beliau. Ingin rasanya membuka pintu dan berlari membela ibu. Namun aku yang saat itu masih berusia 7 tahun sungguh tak bernyali untuk itu. Tetap dengan teriakan ia memanggil ibu, namun tampaknya ibu sedang keluar. Ibu, jangan pulang! Teriak bathinku.
Tak jarang di lain waktu, hanya karena teh ayah memaki ibu, menuduh ibu ingin membunuhnya karena memberi gula yang kebanyakan. Menyiramkan air panas ke kakiku hanya karena hal-hal sepele. Siksaan demi siksaan ayah akhirnya berhenti di jeruji besi polisi.
Selanjutnya, aku tinggal bersama nenekku yang penuh kasih sayang. Namun hanya 2 tahun aku merasakan kasih saying itu karena nenek meninggal dunia. Hanya nenek keluargaku di sini. Keluarga ayah tak jelas ntah dimana dan ibu hanya punya nenek seperti aku yang hanya punya ibu, kami sama-sama anak semata wayang. Aku sendiri, kebingungan terluntang-lantung di jalan hingga seorang preman membawaku secara paksa ke dalam mobil. Ia mengirimku ke Bang Banu, sebutan untuk lelaki yang sebenarnya sudah tidak abang-abang lagi. Ia lebih pantas disebut ’Kakek’. Ia mengumpulakan anak-anak jalanan dan menugasi mereka untuk mengemis sepanjang hari> Pagi-pagi buta kami diturunkan dari mobil dan baru dijemput ketika langit telah gelap. Hasilnya harus disetorkan semua, kami hanya diberi makan seadanya dan tempat tinggal juga sangat seadanya. Mereka (Bang Banu dan kawan-kawan) yang semuanya laki-laki seringkali bertindak buruk dan memukul kami jika hasil dari mengemis tak seberapa, akibatnya semakin menambah kebencianku kepada kaum lelaki. Aku benci mereka. Aku benci lelaki.
Ketika aku beranjak remaja dan memasuki usia baligh, aku mulai ketakutan kalau-kalau aku nanti dijual ke pria hidung belang, maka dengan susah payah, aku berhasil kabur dan ditolong oleh seorang wanita yang belakangan ku panggil ’Bunda’. Bunda sudah menjadi seorang janda sejak lama, suami beliau meninggal karena sakit. Bunda memiliki satu orang puteri hampir seusiaku. Ia sangat cantik, Nia namanya. Ialah yang kemudian menjadi sahabat sehatiku.
Baik bunda maupun Nia memperlakukanku dengan sangat baik. Mereka menggenapkan keyakinanku bahwa makhluk bernama wanita itu selalu baik dan lelaki itu selalu kejam. Keyakinan ini berdampak sangat fatal, bukan hanya membuatku tak melirik pria, namun membuatku merasa mencintai seorang wanita dan selalu ingin bersamanya, siapa lagi kalau bukan Nia.
Suatu saat seorang lelaki bernama Yogi melamar Nia. Ntah apa yang ku rasa. Aku jealous luar biasa. Ngambek berhari-hari sampai bunda dan Nia kebingungan. Pasangan pengantin baru itu tinggal bersama kami, alhasil setiap hari aku menyaksikan keromantisan mereka. Aku benci Yogi. Benci!
”Mas, A’!” Pinta Nia dengan sangat lembut agar suaminya membuka mulut untuk disuapi puding yang dibuat sendiri oleh Nia.
Lalu suaminya itu membuka mulut dengan tatapan bahagia dan aku mulai panas. Ku hampiri mereka, sendok yang hampir sampai ke mulut Yogi pun ku tangkis hingga jatuh ke lantai. Nia dan suaminya memandangku heran.
”Ada apa Wita?” Tanya Nia dengan nada yang tidak marah, suaranya tetap rendah dan lembut. Kesabaran Nia sangat mengagumkan bagiku. Nia sungguh memukau di mataku.
”Suami kamu itu bukan anak kecil lagi. Nggak usah disuapin segala!”
Lima tahun sudah berlalu. Bunda kini telah tiada. Tinggalah Nia seorang yang ada di hatiku. Beberapa kali setiap Nia dan suaminya menunjukkan keakraban di depanku, setiap kali itu pula aku datang mengganggu.
”Dia seperti orang cemburu sayang...” Jelas Yogi suatu kali kepada Nia, yang tak sengaja ku dengar.
“Cemburu kepada siapa? Kepada Mas? Nggak mungkin mas.”
“Bukan, tapi cemburu sama kamu.”
Nia melotot seolah tak percaya.
”Maksud mas, dia....?” Nia tak meneruskan kata-katanya.
”Iya.” Jawab Yogi mengiyakan.
”Nggak mungkin mas. Juwita itu saudaraku, kami saling menyayangi sebagai kakak dan adik.” Ucapan Nia terhenti di tenggorokan ketika melihat aku tiba-tiba datang.
”Silahkan tanyakan padanya.”
”Tidak, tidak akan.” Jawab Nia enggan.
”Iya, Yogi benar. Aku benci lelaki dan mencintai wanita. Aku mencintaimu Nia.” Jelasku akhirnya.
”Wita, Nia juga mencintai kamu. Kita adalah keluarga.” Sanggah Nia yang seolah tak ingin percaya dengan apa yang ku katakan barusan.
“Tidak, aku mencintaimu leih dari itu.” Ucapku kemudian pergi dan menangis seharian di kamar.
Tuhan, sebenarnya ku tidak ingin seperti ini. Sembuhkanlah aku. Merdekakanlah aku dari ketidak-normalan ini. Kirimkanlah pejuang untuk memerdekakan aku.
”Mas, tolong bantu aku untuk merubah paradigma berpikir Juwita bahwa tidak semua laki-laki itu kejam.” Pinta Nia kepada suaminya.
”Ya, mas akan tunjukkan sikap yang baik kepadanya.”
”Bukan hanya itu. Nikahi Juwita Mas.”
”Hah? Tidak. Lelaki baik itu ada banyak Nia.”
”Tidakkah mas juga menyangangi apa-apa yang juga aku sayangi?”
”Iya, tapi mas punya banyak teman yang belum menikah dan sangat baik kesehariannya. Kita bisa menjodohkan mereka. Kenapa harus mas? Mas sudah cukup dengan kamu.”
”Mas tau? kita sudah menikah lima tahun tapi tak juga punya momongan. Akan sangat bahagia jika orang yang menghadiahkan momongan itu adalah Juwita yang sudah ku anggap saudara sendiri. Ditambah lagi, aku khawatir tidak menemukan lelaki yang siap menerimanya apa adanya.”
Dengan berbagai upaya akhirnya Yogi setuju dengan usulan Nia. Namun aku,
”Tidak Nia. Aku akan menyakitimu.” Ucapku enggan.
”Mana mungkin aku ingin menyakiti diriku sendiri.” Bela Nia.
”Tau tidak? pengorbananmu justru akan semakin membuaku mencintaimu. Bukan malah terbebas dari belenggu ini.”
”Tapi kau akan tau kalau Yogi adalah lelaki yang akan berjuang membebaskanmu dari belenggu ini. Tidakkah kau ingin bebas? Tidakkah ingin merdeka?”
”Ingin.” Jawabku cepat.
”Kalau begitu, berjanjilah kau juga akan berjuang untuk dirimu sendiri!” Pinta Nia dengan sangat tegas membuatku beroleh semangat pejuang kemerdekaan angkatan 45.
Tiga tahun sudah aku menjadi isteri Yogi. Demi Nia. Ya masih demi Nia dan untuk Nia aku menghadiahkannya seorang anak lelaki yang lucu. Kelucuannya membuat aku tak tega membencinya walaupun ia berasal dari kaum lelaki dan aku, ntah apa yang terjadi padaku. Tak juga aku merasa mencintai mas Yogi. Ya, Nia melarangku memanggilnya ’Yogi’ saja.
Pekan depan, 17 agustus. Akan dirayakan banyak perlombaan dimana-mana, termasuk di lingkungan tempat tinggal kami.
”Kita akan ikut lomba sendal raksasa. Mau?” Tanya mas Yogi kepada kami.
”Mau-Mau.”Jawab Nia.
”Wita?” Tanya mereka berdua.
”Oke.” Jawabku tersenyum.
Mas Yogi memotong sebuah kayu broti dan karet ban. Ia membuat sendiri sandal raksasa yang dipakai tiga orang sekaligus untuk latihan persiapan lomba 17-an nanti. Selama latihan, sering kali aku terjatuh dan mas Yogi selalu menolong. Membimbing kami berdua dengan hitungan kesabaran.
”Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.” Ucapnya memberi aba-aba untuk setiap langkah yang kami hentakkan bersama.
Tibalah hari yang dinanti. Bendera merah putih semakin ramai dimana-mana. Di jalanan, di kenderaan dan juga di depan rumah kami tentunya. Kami memasangnya bersama-sama dua hari yang lalu. Benar-benar kerjasama yang indah menurutku.
Latihan yang serius membuahkan hasil yang memuaskan. Kami Hanya terjatuh sekali kemudian bangkit lagi. Saling berpegangan bahu dan melangkah dengan mantap. Orang-orang memandang kami dengan heran. Betapa tidak, dua isteri satu suami bisa sangat akur. Sungguh tak biasa. Tapi itulah kami, aku merasa memang luar biasa dan semakin luar biasa ketika diumumkan bahwa kamilah sang jawara lomba lari sendal raksasa ini. Kami bertiga bersorak senang. Terlebih mas Yogi yang telah berhasil melatih kami dengan susah payah. Mas Yogi pun memeluk aku dan Nia. Tiba-tiba. DegDegDeg. Aku merasakan jantungku berdebar lebih kencang. Ada apa denganku? Belum pernah aku merasakan ini. Sejenak aku tercengang. Ku pandangi mas Yogi di sebelahku yang masih bersorak bahagia dan aku merasa ia semakin tampan. Lalu akupun kembali bersorak gembira. Bukan hanya karena menjadi pemenang lomba, tapi karena aku merasa aku mulai mencintai sumaiku.
”Aduh, sakit mas.” Ucap Nia baru menyadari kakinya sedikit keseleo.
”Mana?” Tanya mas Yogi lembut.
”Ini...” Ucap Nia sambil menunjuk mata kakinya.
Mas Yogi kemudian memijit-mijit kaki Nia dengan tatapan penuh cinta. Refleks aku berkata, ”Aduh, sakit.”
Mas Yogi langsung menoleh, ”Sakit juga? Yang mana?” Tanyanya sama lembutnya.
”Yang ini.” Ucapku menunjuk hatiku dengan senyum penuh canda.
”Haha...” Kami bertiga tertawa.
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan dua pejuang untuk membebaskanku dari belenggu trauma masa lalu ini. Kini, aku merasa sama dengan siapa saja. Aku normal. Aku merdeka di hari kemerdekaan. Pikirku bahagia.
”MERDEKA!” Teriakku sambil mengepalkan tangan ke atas.
Nia dan mas Yogi tertawa.
“Kalau begitu kamu mirip pejuang Wita.” Ledek Nia.
“Tidak kalianlah pejuang itu.”
“Kita bertiga pejuang.” Ucap mas Yogi menengahi.
Serentak kami berteriak, ”MERDEKA!”.