Senin, 12 Juli 2010

PEJUANG PEMBEBAS (Fiksi Belaka)

Kata orang, ada banyak warna-warni cinta seperti layaknya pelangi. Cinta tak hanya sekedar hitam dan putih. Namun bagiku, cinta hanya memiliki satu warna. Kelabu! Ya, kelabu bagaikan warna langit ketika mendung. Seperti itulah warna cinta bagiku.
Aku bukanlah seorang wanita yang sudah berkali-kali patah hati, bukan pula seorang wanita yang selalu berhasil dalam percintaannya. Bukan! Sama sekali bukan karena aku adalah himpunan bagian dari mereka yang minoritas di dunia ini. Kaum lesbi. Setidaknya aku merasa hampir menyerupai kaum itu. Sungguh, aku tak pernah meminta kepada Tuhan agar aku termasuk ke dalam kategori yang minoritas itu. Namun setelah mengalami perjuangan yang panjang, aku memiliki kesadaran penuh bahwa segala apa yang terjadi dalam hidupku adalah ujian dari Tuhanku.
Namaku Juwita. Sedari kecil aku hidup di bawah baying-bayang kekerasan, memiliki ayah yang tak berperasaan membuatku putus harapan untuk kuat menghadapi terpaan demi terpaan, hanya keyakinan kepada Tuhan yang terus memberiku kekuatan. Aku selalu menemui hal yang membuatku sangat membenci kaum lelaki. Aku membenci mereka seperti aku membenci ayahku. Sungguh tragis, lelaki itu tega membakar isterinya hidup-hidup hanya karena isterinya membangunkannya sholat shubuh. Aku si kecil malang itupun nyaris terbakar saat itu. Bahagia sekali rasanya setelah pengadilan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada lelaki yang tak penah ku panggil “ayah” lagi semenjak kejadian berapi itu.
“JUWITA!!!” teriak ayahku. Aku berlari mengayunkan kaki kecilku menuju kamar, sekelebat pintu itu terkunci dan aku bersandar padanya.
Dug…DugDug…. Pintu itu digedor dengan sangat keras seakan-akan engselnya hendak copot dari tempatnya. Tubuhku bergetar, mata ini keluh sudah mengeluarkan air mata yang membanjiri wajah dan bibirku yang membiru karena ketakutan.
Dugdugdug. “Juwita, BUKA!” Teriaknya lagi. Setiap pintu digedor dengan keras, setiap itu pula tubuhku berguncang, setiap ayah berteriak setiap itu pula aku bergetar ketakutan. Jika pintu terbuka, habislah aku kena hantam karena telah berani-berani mengganggunya berjudi di warung Pak Urip.
Setelah lama, pintu tak jua jebol apalagi terbuka. Ayah pergi setelah sebelumnya menendang pintu dengan sangat marah. Kemuadian beranjak ke dapur mencari sasaran selanjutnya. Ibuku. Wanita itu, ah pilu hatiku ketika mengenang beliau. Ingin rasanya membuka pintu dan berlari membela ibu. Namun aku yang saat itu masih berusia 7 tahun sungguh tak bernyali untuk itu. Tetap dengan teriakan ia memanggil ibu, namun tampaknya ibu sedang keluar. Ibu, jangan pulang! Teriak bathinku.
Tak jarang di lain waktu, hanya karena teh ayah memaki ibu, menuduh ibu ingin membunuhnya karena memberi gula yang kebanyakan. Menyiramkan air panas ke kakiku hanya karena hal-hal sepele. Siksaan demi siksaan ayah akhirnya berhenti di jeruji besi polisi.
Selanjutnya, aku tinggal bersama nenekku yang penuh kasih sayang. Namun hanya 2 tahun aku merasakan kasih saying itu karena nenek meninggal dunia. Hanya nenek keluargaku di sini. Keluarga ayah tak jelas ntah dimana dan ibu hanya punya nenek seperti aku yang hanya punya ibu, kami sama-sama anak semata wayang. Aku sendiri, kebingungan terluntang-lantung di jalan hingga seorang preman membawaku secara paksa ke dalam mobil. Ia mengirimku ke Bang Banu, sebutan untuk lelaki yang sebenarnya sudah tidak abang-abang lagi. Ia lebih pantas disebut ’Kakek’. Ia mengumpulakan anak-anak jalanan dan menugasi mereka untuk mengemis sepanjang hari> Pagi-pagi buta kami diturunkan dari mobil dan baru dijemput ketika langit telah gelap. Hasilnya harus disetorkan semua, kami hanya diberi makan seadanya dan tempat tinggal juga sangat seadanya. Mereka (Bang Banu dan kawan-kawan) yang semuanya laki-laki seringkali bertindak buruk dan memukul kami jika hasil dari mengemis tak seberapa, akibatnya semakin menambah kebencianku kepada kaum lelaki. Aku benci mereka. Aku benci lelaki.
Ketika aku beranjak remaja dan memasuki usia baligh, aku mulai ketakutan kalau-kalau aku nanti dijual ke pria hidung belang, maka dengan susah payah, aku berhasil kabur dan ditolong oleh seorang wanita yang belakangan ku panggil ’Bunda’. Bunda sudah menjadi seorang janda sejak lama, suami beliau meninggal karena sakit. Bunda memiliki satu orang puteri hampir seusiaku. Ia sangat cantik, Nia namanya. Ialah yang kemudian menjadi sahabat sehatiku.
Baik bunda maupun Nia memperlakukanku dengan sangat baik. Mereka menggenapkan keyakinanku bahwa makhluk bernama wanita itu selalu baik dan lelaki itu selalu kejam. Keyakinan ini berdampak sangat fatal, bukan hanya membuatku tak melirik pria, namun membuatku merasa mencintai seorang wanita dan selalu ingin bersamanya, siapa lagi kalau bukan Nia.
Suatu saat seorang lelaki bernama Yogi melamar Nia. Ntah apa yang ku rasa. Aku jealous luar biasa. Ngambek berhari-hari sampai bunda dan Nia kebingungan. Pasangan pengantin baru itu tinggal bersama kami, alhasil setiap hari aku menyaksikan keromantisan mereka. Aku benci Yogi. Benci!
”Mas, A’!” Pinta Nia dengan sangat lembut agar suaminya membuka mulut untuk disuapi puding yang dibuat sendiri oleh Nia.
Lalu suaminya itu membuka mulut dengan tatapan bahagia dan aku mulai panas. Ku hampiri mereka, sendok yang hampir sampai ke mulut Yogi pun ku tangkis hingga jatuh ke lantai. Nia dan suaminya memandangku heran.
”Ada apa Wita?” Tanya Nia dengan nada yang tidak marah, suaranya tetap rendah dan lembut. Kesabaran Nia sangat mengagumkan bagiku. Nia sungguh memukau di mataku.
”Suami kamu itu bukan anak kecil lagi. Nggak usah disuapin segala!”
Lima tahun sudah berlalu. Bunda kini telah tiada. Tinggalah Nia seorang yang ada di hatiku. Beberapa kali setiap Nia dan suaminya menunjukkan keakraban di depanku, setiap kali itu pula aku datang mengganggu.
”Dia seperti orang cemburu sayang...” Jelas Yogi suatu kali kepada Nia, yang tak sengaja ku dengar.
“Cemburu kepada siapa? Kepada Mas? Nggak mungkin mas.”
“Bukan, tapi cemburu sama kamu.”
Nia melotot seolah tak percaya.
”Maksud mas, dia....?” Nia tak meneruskan kata-katanya.
”Iya.” Jawab Yogi mengiyakan.
”Nggak mungkin mas. Juwita itu saudaraku, kami saling menyayangi sebagai kakak dan adik.” Ucapan Nia terhenti di tenggorokan ketika melihat aku tiba-tiba datang.
”Silahkan tanyakan padanya.”
”Tidak, tidak akan.” Jawab Nia enggan.
”Iya, Yogi benar. Aku benci lelaki dan mencintai wanita. Aku mencintaimu Nia.” Jelasku akhirnya.
”Wita, Nia juga mencintai kamu. Kita adalah keluarga.” Sanggah Nia yang seolah tak ingin percaya dengan apa yang ku katakan barusan.
“Tidak, aku mencintaimu leih dari itu.” Ucapku kemudian pergi dan menangis seharian di kamar.
Tuhan, sebenarnya ku tidak ingin seperti ini. Sembuhkanlah aku. Merdekakanlah aku dari ketidak-normalan ini. Kirimkanlah pejuang untuk memerdekakan aku.
”Mas, tolong bantu aku untuk merubah paradigma berpikir Juwita bahwa tidak semua laki-laki itu kejam.” Pinta Nia kepada suaminya.
”Ya, mas akan tunjukkan sikap yang baik kepadanya.”
”Bukan hanya itu. Nikahi Juwita Mas.”
”Hah? Tidak. Lelaki baik itu ada banyak Nia.”
”Tidakkah mas juga menyangangi apa-apa yang juga aku sayangi?”
”Iya, tapi mas punya banyak teman yang belum menikah dan sangat baik kesehariannya. Kita bisa menjodohkan mereka. Kenapa harus mas? Mas sudah cukup dengan kamu.”
”Mas tau? kita sudah menikah lima tahun tapi tak juga punya momongan. Akan sangat bahagia jika orang yang menghadiahkan momongan itu adalah Juwita yang sudah ku anggap saudara sendiri. Ditambah lagi, aku khawatir tidak menemukan lelaki yang siap menerimanya apa adanya.”
Dengan berbagai upaya akhirnya Yogi setuju dengan usulan Nia. Namun aku,
”Tidak Nia. Aku akan menyakitimu.” Ucapku enggan.
”Mana mungkin aku ingin menyakiti diriku sendiri.” Bela Nia.
”Tau tidak? pengorbananmu justru akan semakin membuaku mencintaimu. Bukan malah terbebas dari belenggu ini.”
”Tapi kau akan tau kalau Yogi adalah lelaki yang akan berjuang membebaskanmu dari belenggu ini. Tidakkah kau ingin bebas? Tidakkah ingin merdeka?”
”Ingin.” Jawabku cepat.
”Kalau begitu, berjanjilah kau juga akan berjuang untuk dirimu sendiri!” Pinta Nia dengan sangat tegas membuatku beroleh semangat pejuang kemerdekaan angkatan 45.
Tiga tahun sudah aku menjadi isteri Yogi. Demi Nia. Ya masih demi Nia dan untuk Nia aku menghadiahkannya seorang anak lelaki yang lucu. Kelucuannya membuat aku tak tega membencinya walaupun ia berasal dari kaum lelaki dan aku, ntah apa yang terjadi padaku. Tak juga aku merasa mencintai mas Yogi. Ya, Nia melarangku memanggilnya ’Yogi’ saja.
Pekan depan, 17 agustus. Akan dirayakan banyak perlombaan dimana-mana, termasuk di lingkungan tempat tinggal kami.
”Kita akan ikut lomba sendal raksasa. Mau?” Tanya mas Yogi kepada kami.
”Mau-Mau.”Jawab Nia.
”Wita?” Tanya mereka berdua.
”Oke.” Jawabku tersenyum.
Mas Yogi memotong sebuah kayu broti dan karet ban. Ia membuat sendiri sandal raksasa yang dipakai tiga orang sekaligus untuk latihan persiapan lomba 17-an nanti. Selama latihan, sering kali aku terjatuh dan mas Yogi selalu menolong. Membimbing kami berdua dengan hitungan kesabaran.
”Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.” Ucapnya memberi aba-aba untuk setiap langkah yang kami hentakkan bersama.
Tibalah hari yang dinanti. Bendera merah putih semakin ramai dimana-mana. Di jalanan, di kenderaan dan juga di depan rumah kami tentunya. Kami memasangnya bersama-sama dua hari yang lalu. Benar-benar kerjasama yang indah menurutku.
Latihan yang serius membuahkan hasil yang memuaskan. Kami Hanya terjatuh sekali kemudian bangkit lagi. Saling berpegangan bahu dan melangkah dengan mantap. Orang-orang memandang kami dengan heran. Betapa tidak, dua isteri satu suami bisa sangat akur. Sungguh tak biasa. Tapi itulah kami, aku merasa memang luar biasa dan semakin luar biasa ketika diumumkan bahwa kamilah sang jawara lomba lari sendal raksasa ini. Kami bertiga bersorak senang. Terlebih mas Yogi yang telah berhasil melatih kami dengan susah payah. Mas Yogi pun memeluk aku dan Nia. Tiba-tiba. DegDegDeg. Aku merasakan jantungku berdebar lebih kencang. Ada apa denganku? Belum pernah aku merasakan ini. Sejenak aku tercengang. Ku pandangi mas Yogi di sebelahku yang masih bersorak bahagia dan aku merasa ia semakin tampan. Lalu akupun kembali bersorak gembira. Bukan hanya karena menjadi pemenang lomba, tapi karena aku merasa aku mulai mencintai sumaiku.
”Aduh, sakit mas.” Ucap Nia baru menyadari kakinya sedikit keseleo.
”Mana?” Tanya mas Yogi lembut.
”Ini...” Ucap Nia sambil menunjuk mata kakinya.
Mas Yogi kemudian memijit-mijit kaki Nia dengan tatapan penuh cinta. Refleks aku berkata, ”Aduh, sakit.”
Mas Yogi langsung menoleh, ”Sakit juga? Yang mana?” Tanyanya sama lembutnya.
”Yang ini.” Ucapku menunjuk hatiku dengan senyum penuh canda.
”Haha...” Kami bertiga tertawa.
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan dua pejuang untuk membebaskanku dari belenggu trauma masa lalu ini. Kini, aku merasa sama dengan siapa saja. Aku normal. Aku merdeka di hari kemerdekaan. Pikirku bahagia.
”MERDEKA!” Teriakku sambil mengepalkan tangan ke atas.
Nia dan mas Yogi tertawa.
“Kalau begitu kamu mirip pejuang Wita.” Ledek Nia.
“Tidak kalianlah pejuang itu.”
“Kita bertiga pejuang.” Ucap mas Yogi menengahi.
Serentak kami berteriak, ”MERDEKA!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar